Jakarta, (ANTARA News) – Sistem kontrak minyak dan gas (Migas) gross split yang mulai diperkenalkan oleh pemerintah Indonesia sejak 2017 mendapatkan apresiasi dari Lembaga konsultan energi global Wood Mackenzie dalam laporan yang terbit Januari 2019.

Menurut laporan Wood Mackenzie, sistem kontrak gross split mendapat sambutan yang positif dari para investor migas. Kebijakan fiskal yang diterapkan oleh sistem gross split juga dinilai positif terhadap investasi migas di Indonesia.

“Kami bersyukur, dengan kerja keras kita semua dukungan terhadap sistem gross plit terus mengalir dan semakin besar. Apresiasi yang diberikan oleh Wood Mackenzie menjadi salah satu bukti bahwa gross split sangat kompetitif untuk menarik investasi migas ke Indonesia,” jelas Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM di Jakarta, Rabu.

Dari laporan Wodd Mackenzie, Indonesia, bersama India, disebut telah menyelesaikan satu babak di bawah skema bagi hasil migas yang baru, yakni Gross Split. Respons dari investor, seperti yang disebut dalam laporan tersebut, adalah cukup baik, menurut Arcandra.

Dalam laporan tersebut, ditampilkan pula 10 Blok Migas yang telah berakhir masa kontraknya pada tahun 2018, yakni Blok Seram Non-Bula, Selawati Kepala Burung, Bula, Kepala Burung, South East Sumatera, East Kalimantan – Attaka, Offshore Mahakam, Sanga-Sanga, Rimau, dan NSO-NSO Extension. Kesepuluh Blok Migas tersebut telah berganti skema bagi hasil, dari yang sebelumnya Cost Recovery, menjadi Gross Split.

Laporan Wood Mackenzie tersebut bahkan belum menampilkan keseluruhan blok migas gross split tahun 2018. Faktanya, hingga akhir tahun 2018 lalu, sudah 36 WK migas yang menggunakan sistem bagi hasil Gross Split.

Perubahan sistem kontrak ke gross split merupakan kebutuhan Indonesia untuk bersaing dengan negara lain dalam menarik investor. Dengan sistem gross split dimana proses administrasinya sederhana, biaya investasi efisien dan regulasi yang memberi kepastian, ternyata mampu meningkatkan kepercayaan dan keyakinan investor terhadap iklim investasi migas di Indonesia.

Selama 2017-2018 sebanyak 14 wilayah kerja migas berhasil dilelang dengan sistem gross split. Kemudian sejumlah blok-blok migas terminasi yang telah dilakukan perpanjangan kontrak juga menerapkan gross split.

Arcandra mengatakan, sistem gross split juga makin diminati oleh investor eksisting yang sebelumnya menggunakan sistem kontrak cost recovery. Saat ini Eni SpA yang mengelola blok East Sepinggan dan West Natuna Exploration Ltd di blok Duyung telah beralih ke gross split. Sampai bulan Februari nanti akan ada 5 blok migas lain yang juga memilih beralih ke gross split. Proses peralihan kontrak cost recovery ke gross split akan selesai dalam waktu sekitar satu bulan.

“Dari laporan Wood Mackenzie dapat dilihat bahwa minat investor untuk berinvestasi di Indonesia sangat positif. Ketika di banyak negara lain hanya mampu melelang beberapa blok migas, Indonesia sukses mendapatkan 36 kontrak blok migas dengan gross split hingga akhir 2018,” tutur Wamen ESDM.

Arcandra menambahkan, tingginya kepercayaan investor terhadap iklim investasi di Indonesia juga dapat dilihat dari komitmen mereka untuk membayar komitmen kerja pasti (KKP) dan signature bonus yang menjadi bagian dari sistem gross split. Dari seluruh kontrak blok migas yang menggunakan gross split telah terkumpul dana KKP senilai Rp 31,5 triliun dan signature bonus sebesar Rp.13,4 triliun.

Dana KKP itu akan digunakan untuk biaya eksplorasi dan penemuan cadangan-cadangan migas baru dalam 5 tahun ke depan sejak kontrak ditandatangani. Dana dari para investor migas tersebut diharapkan akan menjamin eksplorasi dan penemuan cadangan-cadangan migas di berbagai wilayah Indonesia lebih masif. Pasalnya selama ini anggaran yang tersedia dari APBN hanya sekitar Rp 60 miliar – Rp 70 miliar per tahun.

“Komitmen investor untuk membayar KKP dan Signature bonus adalah bukti bahwa potensi migas di Indonesia masih sangat baik. Lebih penting lagi dengan gross split negara tidak disandera oleh efisiensi sebuah korporasi dari proyek blok-blok migas karena biaya eksplorasi tidak lagimenggunakan APBN sebagaimana cost recovery,” tegas Arcandra Tahar.